Zaman silam, satuan administrasi terkecil dalam masyarakat Karo adalah kuta. Kuta merupakan suatu persekutuan hukum, artinya kuta itu merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal, serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan materil maupun kekayaan immateriil (Wignjodipuro, 1967, dalam Prinst, 2004:55).
Sekarang, istilah kuta masih tetap ada, namun lebih pada penamaan saja, fungsinya secara administratif sudah tidak berlaku. Satuan administrasi kewilayahan yang menggantikan kuta itu sekarang ini adalah desa atau kelurahan. Wilayahnya mencakup beberapa bekas kuta.
Pada zamannya, pendirian kuta baru biasa dilakukan terkait dengan perkembangan di kuta asalnya, bisa jadi sudah mulai padat, lahan pertanian baru relatif tidak bisa dikembangkan, atau adanya persaingan yang membuat salah satu pihak harus pergi dan mendirikan kuta-nya sendiri. Pendirian suatu kuta tidak bisa dipisahkan dari konsep kekerabatannya, yakni dalikan sitelu atau rakut si telu. Maka, suatu kuta yang dibangun haruslah memiliki kelengkapan kekerabatan ini. Pertama-tama kuta dihuni oleh merga tertentu, mereka ini yang disebut si mantek kuta atau kelompok pendiri kampung. Untuk kepentingan pendirian kuta ini, maka si mantek kuta membawa serta anak beru, senina, serta kalimbubunya. Dengan demikian, persyaratan ini menunjukkan kuta hanya bisa dibuka seseorang yang sudah menikah.
Seterusnya, anak beru yang dibawa waktu mendirikan kuta ini beserta keturunannya secara terus-menerus akan disebut anak beru si ngian rudang. Selanjutnya kalimbubu yang dibawa pada waktu membuka kuta beserta keturunannya disebut kalimbubu si majek lulang. Ketiga kelompok ini beserta keturunannya mempunyai peranan penting di kuta, merekalah yang menurut adat secara turun-temurun memegang kendali pemerintahan di kuta. Harta kekayaan kuta antara lain, tanah-tanah yang terdapat dalam wilayah kuta, hutan-hutan dan segala isinya yang ada di dalam wilayah tersebut, serta binatang—binatang liar yang hidup di sana. Semua tanah, hutan dan kekayaan kuta dikuasai pengulu. Sebab itu pembukaan ladang baru atau pembukaan hutan hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin pengulu dan membayar sewa tanah.
Kemudian kelompok kedua adalah penghuni-penghuni baru yang datang ke kuta itu, yakni mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan kelompok si mantek kuta, salah satunya karena perkawinan. Kelompok ini disebut ginemgem, artinya orang yang diayomi. Kelompok ini tetap harus mendapatkan izin dan membayar sewa tanah sekiranya akan membuka ladang baru, tetapi tidak diwajibkan untuk kerahen, yakni kerja wajib untuk si mantek kuta.
Golongan berikutnya disebut derip, yakni penduduk yang tidak punya hubungan kekerabatan dengan si mantek kuta. Selain harus mendapatkan izin dan membayar sewa tanah jika membuka ladang baru, kelompok ini pun terkena kerahen, yakni kerja wajib untuk si mantek kuta.
Kuta-kuta selanjutnya, bisa saja, berafiliasi dalam suatu urung, yakni satuan otonom yang secara prinsip membawahi beberapa kuta dan menginduk pada kesibayeken. Istilah bapa urung sebagai pemimpin urung, kemudian diganti menjadi raja urung setelah penjajahan Belanda sampai di Karo sekitar tahun 1902.
No comments:
Post a Comment