Sunday, 28 November 2010

Ritual Pasca Letusan

Ritual tolak bala merupakan sesuatu yang rutin dilakukan saban tahun oleh masyarakat Karo, namun meminta kemurkaan penghuni Gunung Sinabung untuk berhenti, tidak ada yang ingat kapan itu pernah dilakukan sebelumnya, karena memang tidak ada catatan kapan Gunung Sinabung terakhir meletus. 

Sejauh ini, tidak ditemukan literatur yang mencatat tentang ritual yang dilakukan terkait letusan gunung pada zaman-zaman silam, namun pasca letusan Sinabung, ritual itu dilaksanakan untuk pertama sekali. Pelaksanaannya berlangsung di beberapa desa dan waktu pelaksanaannya juga berbeda. Ritual ini dimaksudkan agar penghuni Sinabung menghentikan amarahnya dan juga menjalin komunikasi batin dengan pendiri kuta atau desa.
Ritual ini untuk pertama sekali dilaksanakan di Sukanalu Kecamatan Naman Teran. Tak kurang 50 orang warga melaksanakan ritual ini pada Kamis, 2 September, sekitar pukul 10.00 WIB. Mereka meninggalkan pengungsian dan kembali desa yang masih dalam suasana bahaya, agar dapat mengikuti kegiatan yang juga dihadiri Kepala Desa Sukanalu, Paten Sitepu.

Tujuan utama ritual itu, untuk menyampaikan doa, serta permintaan maaf kepada leluhur yang berdiam di sekitar lereng gunung, sekaligus meminta keselamatan dari pulu balang atau si mantek kuta atau orang pertama menjadikan perkampungan (kuta) Sukanalu. Kawasan hunian pulu balang yang dikeramatkan itu berada tidak jauh dari pusat Desa Sukanalu.

Dalam pemberitaan di Sumut Pos, Jumat, 3 September 2010, disebutkan, ritual didahului dengan ncibelken (mempersembahkan) rokok yang sudah dinyalakan dan diletakkan di potongan ranting sebagai penyangga, kemudian ditancapkan ke tanah di sekitar lokasi yang dikeramatkan. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembersihan areal kediaman pulu balang. Rumput yang tumbuh di sekelilingya dibabat dan dicabut satu persatu. Setelah pembersihan, ritual dilanjutkan dengan meletakkan 20 lembar daun sirih dan buah pinang di atas daun pisang. Usai menyajikan sesajen, Lima puluhan orang tersebut mulai memanjatkan doa, sesuai ajaran agama masing-masing.

Sebelum masuk dan berkembangnya agama di kawasan tersebut, warga desa kerap mengeramatkan kawasan pekuburan si mantek kuta, namun lambat laun keberadaan si mantek kuta mulai terlupakan, termasuk keturunannya sendiri. Menurut Paten Sitepu, 43 tahun, yang merupakan keturunan pendiri kuta, ritual ini sudah lama tidak dilaksanakan. Sudah lebih dari 30 tahun, sebab terakhir kali dilaksanakan ketika dia duduk di kelas tiga Sekolah Dasar (SD). Bencana Sinabung membuat masyarakat secara teringat kembali untuk melaksanakan ritual ziarah ke makam pendiri kuta dan dilakukan secara komunal, representasi masyarakat Sukanalu. Pelaksanaan juga berlangsung dalam cuaca yang baik. Hari itu, cuaca cerah terang, berawan, angin bertiup lemah dari barat, sementara gunung tertutup kabut.

Sebenarnya selama ini selalu ada yang menziarahi tempat pemakaman si mantek kuta, namun secara perorangan, umumnya untuk meminta hal-hal yang bersifat khusus. Lokasi ini juga dianggap sakral. Tidak tidak ada yang berani berbuat macam-macam di sekitar lokasi, apakah perbuatan tidak senonoh hingga atau membuang najis, sebab jika melanggar pantangan maka segera menerima bala yang biasanya berbentuk penyakit yang aneh-aneh.

Ritual berikutnya berlangsung di Desa Gurukinayan, Kecamatan Payung. Ritual ini digelar karena banyak warga desa di sekitar gunung yang mendapat mimpi aneh saat tidur di tengah ancaman letusan. Anehnya, mimpi sejumlah warga itu sama, yakni semacam pesan yang menyuruh mereka segera menyiapkan aneka uborampe atau sesaji. Sesaji itupun disiapkan, yakni sirih, kapur, gambir, kemenyan, bara api, janur, bambu dan pohon pisang. Semua uborampe itu disatukan dalam anjab atau tempat persembahan.

Ritual itu dilaksanakan di jambur desa tersebut, pada Jumat, 17 September 2010, sekitar pukul 10.00 WIB. Sejumlah tokoh atau tetua desa hadir dalam ritual itu.Namun satu jam sebelumnya, warga yang jumlahnya sekitar seratusan orang, menggelar upacara penghormatan di tapin atau pemandian dengan membawa daun sirih, jeruk dan rokok yang diletakkan di bawah pohon di dekat tapin, tak jauh dari jambur. Mereka memberi sesajen pada leluhur yang berdiam di gunung sekaligus acara pembersihan kampung dari bahaya.

Setelah melakukan meletakkan sesajen di pancuran desa, warga langsung berkumpul di jambur, untuk memanggil roh leluhur. Empat tetua yang menjadi mediator roh leluhur sempat kerasukan, mereka menyebut diri sebagai arwah yang bermukim di Sinabung. Salah satu dari mereka yang sempat kerasukan menyebutkan dirinya adalah Nini Lau Penawar (Nenek Lau Penawar) dan Nini Lau Galuh Beru Karo, yang diyakini merupakan beberapa di antara penunggu Gunung Sinabung. Kepada para roh tersebut, warga meminta pertolongan agar dihindarkan dari bahaya letusan Gunung Sinabung, serta membersihkan tempat mereka dari segala hal yang tak baik. Untuk memenuhi permintaan warga, Nini Lau Penawar meminta kambing putih serta seekor lembu dan dilepas di kaki gunung.

Menurut Kepala Desa Gurukinayan, Arifin Sembiring, mengatakan selama ini mereka tidak pernah menggelar ritual semacam itu. Tetapi peristiwa meletusnya Gunung Sinabung membuat sejumlah tokoh masyarakat berinisiatif menggelar ritual itu. Sudah puluhan tahun, acara seperti ini tidak mereka lakukan. Kali ini mereka dilaksanakan agar kampung terhindar dari bahaya serta memanggil roh para leluhur agar Gunung Sinabung tidak meletus lagi manjadi tenang dan nyaman.

Berikutnya pada Kamis, 23 September 2010, di Desa Kuta Rakyat, Kecamatan Naman Teran. Ritual tolak bala yang dinamakan perumah nini tapin (memanggil penunggu pancuran mandi) ini, dilaksanakan di tempat mandi umum desa tersebut. Harian Global edisi Jumat, 24 September 2010 menyatakan, ada ratusan orang mengikuti upacara itu. Mereka mengenakan pakaian tradisional Karo, yang khas dengan warna merah hati dan corak hitam. Sejumlah perangkat disiapkan untuk ritual ini, seperti lambe (janur kuning), bunga mayang (bunga pinang) dan wewangian dari kemenyan. Peserta juga diberi tanda sepotong kain putih diikatkan di kepala.

Upacara tersebut diselenggarakan untuk meminta penunggu Gunung Sinabung agar memberikan ketenangan kepada masyarakat dengan menghentikan letusan-letusannya. Pelaksanaan ritual selama tiga jam itu dipimpin 'Guru Mbelin' (dukun besar). Dia transenden dan seperti dituntun roh, berjalan mengelilingi para pengunjung dan peserta upacara, diiringi alat musik tradisional keteng-keteng (alat musik pukul terbuat dari bambu), kecapi, dan gendang penganak. Sesekali Guru Mbelin memberikan isyarat atau kode yang harus dilakukan beberapa orang yang ditunjuk membantu dalam pelaksanaan upacara itu. Pada akhir upacara, dilakukan pelepasan anak kambing putih yang sudah bersih dari kotoran dan noda, ke kaki Gunung Sinabung sebagai persembahan.

Ritual-ritual yang dilaksanakan itu, tidak memberikan pengaruh yang instan terhadap gemuruk vulkanik di kawah Gunung Sinabung. Pada 3 September, atau satu hari setelah pelaksanaan ritual tolak bala di Sukanalu, Gunung Sinabung kembali meletus, erupsi eksplosif pada pukul 04.38 – 04.51 WIB. Terdengar gemuruh, dan terasa getaran pada jarak delapan kilometer sebelah tenggara gunung. Asap hitam tebal membubung hingga ketinggian sekitar 3.000 meter dari bibir kawah yang condong ke arah timur. 

Ketika letusan itu terjadi, masyarakat kembali ke pengungsian memilih untuk tetap berada di pengungsian. Menghitung masalah yang menderanya, menghitung kerugian akibat panen yang tak dipetik, dan debu yang menyelimuti ladang.

No comments:

Post a Comment