Sunday 28 November 2010

Berubah Menjadi Tipe A

Sebagai gunung dengan jenis A, maka Sinabung saat ini terus-menerus dipantau kegiatan vulkaniknya. Letusan gunung bisa terjadi kapan saja. Jika tidak diawasi, tidak akan sempat dilakukan antisipasi sekiranya terjadi letusan. Badan Geologi Kementerian ESDM semula memprediksi Sinabung sebagai gunung yang tidak begitu aktif, dan tidak akan meletus dalam kurun waktu tertentu.


Ternyata pergerakan alam tak bisa diduga. Sinabung mengalami erupsi eksplosif pada 29 Agustus 2010 sekitar pukul 00:10 WIB. Hal ini menandai peningkatan level kegiatan vulkanik, Gunung Sinabung statusnya menjadi awas. Status awas ini merupakan skala bahaya yang paling tinggi atau berada di Level IV dari empat level bahaya bagi gunung berapi. Level I Aktif Normal, Level II Waspada dan Level III Siaga. 

Seiring dengan letusan itu, status Gunung Sinabung yang semula tipe B dinaikkan menjadi gunung tipe A, perubahan ini juga mencatatkan sejarah, karena belum pernah terjadi sebelumnya gunung tipe B meningkat aktivitasnya dan berubah menjadi gunung tipe A. Peningkatan aktivitas itu terjadi karena adanya proses termodinamika, proses yang berlangsung di dalam sistem gunung api. Proses itu melibatkan faktor temperatur, tekanan, dan volume. 

Temperatur antara lain dipengaruhi oleh magma yang tersimpan dalam perut magma gunung bersangkutan, sementara tekanan bisa meningkat ketika gas terperangkap di dalam kubah gunung, dan volume gas juga bisa meningkatkan tekanan. Proses termodinamika ini tidak bisa diprediksi karena merupakan sebuah proses yang harus dilihat pada akhir proses, pada energi yang dihasilkan proses termodinamika tersebut keluar dalam bentuk letusan, dan hal itu tidak nisa diketahui kapan bakal terjadi. Kendati begitu, prediksi bisa dilakukan dengan pendekatan pengukuran data-data fisik dan kimia (Laksmi, 2010). 

Sejauh ini, tidak diperoleh catatan resmi tentang letusan Gunung Sinabung yang terjadi sebelum tahun 2010. Dalam keterangannya Kepala PVMBG Surono menyatakan, aktivitas letusan Sinabung tidak pernah tercatat sejak tahun 1600. Patokan pendokumentasian ditetapkan tahun 1600-an, karena, setelah Belanda masuk ke Indonesia, pendokumentasiannya menjadi lebih baik. Jadi letusan sebelumnya, kalaupun ada, tidak terdokumentasi dengan baik. Paling hanya berupa cerita mulut ke mulut saja (Laksmi, 2010).

Pernyataan yang sama juga datang dari Global Volcanism Program, Department of Mineral Sciences, Museum Nasional Sejarah Alam, Institut Smithsonian yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat. Pada laman websitenya lembaga ini menyatakan, tidak ada catatan tentang letusan yang terjadi sebelum 2010, namun ada laporan yang belum dapat dikonfirmasi tentang letusan Gunung Sinabung pada tahun 1881, sementara aktifitas solfatara yang ada di puncak gunung itu diketahui mulai ada sekitar tahun 1912 (volcano.si.edu, 2010). 

Laporan-laporan awal tentang keberadaan Gunung Sinabung yang memiliki aktivitas vulkanik, tidak lepas dari penelitian yang dilakukan salah satu perintis penelitian geologi di Indonesia, Reinout Willem van Bemmelen. Dialah yang memunculkan teori tentang letusan Gunung Toba yang terkait dengan keberadaan Gunung Sinabung.

Bemmelen lahir di daerah yang sekarang bernama Jakarta, pada 14 April 1904. Fotonya yang terpajang di Museum Geologi Bandung menunjukkan wajahnya lonjong, sekilas mirip Alwi Shihab mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, hanya saja tampilan pipi lebih gemuk dan rambutnya putih. Di foto itu Bemmelen mengenakan kacamata bulat bergagang hitam dan menggunakan pakaian lengkap jas dan dasi. Tak jelas warna aslinya, karena dicetak dengan format warna hitam putih. Ketika berumur 17 tahun, Bemmelen pergi ke Delft untuk belajar ilmu pertambangan. la merupakan salah seorang murid terakhir dari Sekolah Delft Molengraaff. Berikutnya dia meraih gelar doktor di Delft berdasarkan disertasinya Bijdrage tot de Geologie der Betische Ketens in de provincie Granada. Setelah tamat dia bekerja pada Opsporingdienst van den Mijnbouw di Hindia Belanda pada Perpetaan Sumatera dan Jawa. Hasil penelitian geologinya di Indonesia, akhirnya dibukukan dengan judul De geologische geschiedenis van Indonesie dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Geology of Indonesia. 

Dalam kajiannya tentang Sumatera, Bemmelen menemukan gambaran ternyata Danau Toba dikelilingi beberapa lapisan debu dan batuan vulkanik. Dia juga memperhatikan, adanya lipatan lapisan-lapisan bumi yang menyembul sepanjang 275 kilometer dan lebarnya hingga 150 kilometer dengan ketinggian antara 100 hingga 1.000 meter dengan puncak tertinggi sekitar 2.000 meter itu. Pegunungan itu yang terbentang antara Sungai Wampu hingga Sungai Barumun itu dinamakan Bemmelen sebagai Tumor Batak (Pelzer, 1985). Cekungan besar yang disebut Danau Toba merupakan titik tengah dari pegunungan tersebut. Dengan kondisi ini, Bemmelen menyimpulkan di bawah cekungan itu terdapat gunung yang pernah meletus. Letusan itu kemudian menciptakan lagi serangkaian gunung api di sekitarnya, termasuklah di dalamnya Gunung Pusuk Puhit, Sibayak dan Sinabung. 

Walau kemudian, sebagian teori itu terbantahkan seiring dengan munculnya teori lempeng tektonik (plate tectonic) yang merujuk pada teori pergeseran benua (continental drift) yang dikemukakan Alfred Wegener. Hanya saja, ihwal tentang letusan Gunung Toba terus menjadi ladang penelitian para geolog. Berbagai penelitian terus dilakukan dan belakangan menyimpulkan, letusan Gunung Toba tidak hanya terjadi sekali, tetapi tiga kali. Bukti-bukti letusan itu terekam dalam bebatuan muntahannya yang diteliti dengan alat-alat berteknologi tinggi pengukur kadar carbon dan membuat pusing jika disebutkan namanya. 

Letusan Gunung Toba terus dikaji dalam, demikian juga korelasinya dengan Gunung Sinabung karena banyaknya batuan gunung yang terhampar di kaki Sinabung. Tetapi hal terpenting bagi masyarakat yang bermukim di sekitar Sinabung, gunung ini memberikan kesuburan bagi wilayah pertanian. Ada 69.952 rumah tangga dari total 96.715 rumah tangga yang ada di Kabupaten Karo, yang menggantungkan kehidupannya dari pertanian secara langsung. Mereka mengandalkan hasil panen dari kebun-kebun, tomat, cabai, kentang, dan beragam jenis sayuran serta buah-buahan lainnya. 

Selain itu, gunung ini juga menjadi tempat berwisata petualangan atau pendakian. Gunung api jenis strato berbentuk kerucut yang letaknya berada pada posisi 3°0’ Lintang Utara dan 98°23,5’ Bujur Timur ini menarik dipandang dari kejauhan, dan jalur menuju puncaknya juga dipenuhi dengan pepohonan yang khas kawasan tropis. Maka cukup banyak turis yang mendaki ke puncaknya. Ada beberapa titik pendakian menuju puncak, yakni dari Desa Sigarang-garang di Kecamatan Naman Teran, Desa Mardingding di Kecamatan Tiganderket dan Desa Gurukinayan di Kecamatan Payung. Kebanyakan turis memulai pendakian dari tepian Danau (Lau) Kawar di Desa Sigarang-garang, Kecamatan Naman Teran. Dari sini waktu tempuh hingga puncak biasanya mencapai empat jam. 

Banyaknya turis yang mendaki Sinabung, menjadi sumber pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Karo, yang berasal dari retribusi masuk yang menggenapkan jumlahnya menjadi Rp 545,2 juta pada tahun 2009. Sementara bagi masyarakat di sekitar gunung ini, pemasukan bersumber dari angkutan umum, penjualan soevenir, makanan hingga penginapan dan jasa guide.

Namun untuk pertama kalinya dalam sejarah modren masyarakat Karo, Gunung Sinabung menebarkan mara bahaya. Lahan pertanian, pariwisata yang selama ini dinikmati masyarakat Karo, berganti dengan petaka debu vulkanik, kecemasan, dan penderitaan di pengungsian.

No comments:

Post a Comment