Wednesday 1 December 2010

Masyarakat Karo dan Gunung

Letusan Sinabung / eureka
Sebelum letusan Sinabung tahun 2010, masyarakat Karo sama sekali tidak memiliki kearifan lokal apalagi pengalaman yang berkenaan dengan letusan gunung berapi. Bahkan tidak ada cerita-cerita rakyat berkenaan dengan letusan dua gunung api yang ada di wilayahnya, Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. Dengan situasi ini, maka peneliti meyakini Gunung Sinabung belum pernah meletus sebelumnya, walaupun ini masih berupa hipotesa yang samar karena merujuk pada kearifan lokal yang ada di masyarakat Karo yang tidak menyediakan informasi turun-temurun tentang hal itu.

Pemahaman umum masyarakat Karo tentang pertanda gunung yang akan meletus, merujuk pada pengetahuan umum antara lain, suhu di sekitar gunung naik, mata air menjadi kering, gunung sering mengeluarkan suara gemuruh, kadang disertai getaran (gempa/tremor), tumbuhan di sekitar gunung layu, dan binatang di sekitar gunung bermigrasi. Penanda bahwa pengetahuan ini diserap dari pengetahuan umum, yakni tidak adanya terminologi lokal, untuk penyebutan salah satu ciri gunung akan meletus itu. Tidak ada juga cerita atau hikayat (folklor) yang bersentuhan dengan proses akan meletusnya suatu gunung. Hanya ada legenda tentang terbentuknya Danau Lau Kawar, yang berada di kaki Gunung Sinabung, serta kisah dua naga penjaga Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak..

Hubungan masyarakat Karo dengan gunung lebih banyak berkenaan dengan pertanian dan kemudian dimanefestasikan dalam beberapa ritual. Misalnya ketika masa melakukan perbenihen atau pembenihan, bagian dari prosesi merdang atau menanam padi. Pertama-tama di tengah ladang yang akan ditanami, dibuat urukan tanah menyerupai bentuk gunung, kemudian dibuat persumbuken belo bujur, dengan tangkai yang menghadap ke Gunung Sinabung. Kemudian dibuatlah lebeng (lubang) sebanyak sebelas lubang. Kemudian benih padi dicampur dengan simalem-malem. 

Seterusnya melakukan ersudip (berdoa) dengan membacakan, O Nini Beras Padi Taneh, enda kuerdangkan pagengku enda, pasu-pasundu mbuah page, merih manuk, mejuah-juah anakku dilaki ras anakku diberu, sekula serasi kami pagi man buah page mbaru enda. (Hai Dewata Tanah, kami tanam padi kami ini, agar kami semua selamat berbahagia anak-anak kami yang laki-laki dan perempuan. Serasilah kami memakan buah padi ini). Barulah kemudian kesebelas lubang yang disiapkan itu ditanami, dan setelah itu seluruh areal ladang sudah boleh ditanami.

Kemudian, aspek gunung dalam masyarakat Karo juga bisa ditemukan dalam salah satu ritual untuk, untuk mengobati mehado (orang gila). Ritual itu untuk mengusir roh atau hantu jahat yang bersarang dalam tubuh orang yang diobati tersebut kembali ke asalnya, yakni hantu dolok (hantu gunung), hantu silan (hantu tempat keramat), dan hantu jenis lainnya (Prinst, 2004).

Beberapa ritual lain yang dilakukan bisa dipandang keterkaitan kondisi geografis Kabupaten Karo yang berada di sekitar gunung, salah satunya Gunung Sinabung, yang menjadi sumber air dan menyebabkan banyaknya aliran sungai. Maka ada pula tradisi erpangir lau, yakni upacara religius mandi di pancuran (atau sungai) yang dilaksanakan seseorang atau keluarga. Erpangir ini, yang banyak jenisnya, merupakan langkah awal sebelum memasuki ritual lainnya, apakah untuk proses penyembuhan penyakit, maupun permintaan lainnya kepada yang maha kuasa.

Menyatakan erpangir sebagai budaya yang tercipta karena adanya pegunungan di Karo memanglah merupakan asumsi yang cukup lemah mengingat di daerah-daerah lain tradisi mandi di sungai juga ada seperti di Sumatera Barat yang dikenal dengan istilah balimau-limau sebab ritual mandi itu menggunakan limau.

Kemudian di Karo zaman dahulu, dalam pembangunan rumah adat, posisinya harus disesuaikan dengan arah kenjahe (hilir) maupun kenjulu (hulu) sesuai dengan aliran air pada suatu kampung (Prinst, 2004). Ini mungkin beberapa tradisi berkaitan dengan gunung yang ada di masyarakat Karo yang dapat disampaikan.

No comments:

Post a Comment