Wednesday 1 December 2010

Tanggap Darurat Letusan Sinabung

Pengungsi / eureka
Letusan gunung ini menandai dimulainya status keadaan darurat bencana di Kabupaten Karo. Status awalnya adalah tanggap darurat. Pada masa ini ada sejumlah tahapan dan langkah-langkah penanganan bencana yang harus dikerjakan. 

Menurut Perka BNPB 10/2008 tentang Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana, yang dimaksud dengan tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. 

Implementasinya dalam penanggulangan bencana Gunung Sinabung yang dilakukan Pemkab Karo mulai dari penyediaan lokasi pengungsian, distribusi makanan, pemeriksaan kesehatan dan aspek penunjang lainnya seperti pengamanan perkampungan yang ditinggalkan warga saat mengungsi. Sementara dari sisi tingkat bencana, letusan Gunung Sinabung dinyatakan sebagai bencana tingkat kabupaten, sehingga penanganannya dikendalikan kabupaten. 

Dalam kondisi tertentu, jika bencana dipandang cukup besar, baik dari sisi jumlah korban maupun kerusakannya, dapat ditetapkan sebagai bencana tingkat provinsi, sementara jika lebih besar lagi dapat ditetapkan sebagai bencana nasional. Merujuk pada pasal 7 ayat 2 UU 24/2007 maka, penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator yang meliputi, jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan, serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Gempa bumi di Pulau Nias yang terjadi Minggu, 28 Maret 2005 sekitar pukul 23.09 WIB, ditetapkan sebagai bencana provinsi, dan karenanya penanggulangan dipimpin langsung Gubernur Sumut. Gempa bumi yang mencakup Kabupaten Nias dan Nias Selatan itu, menyebabkan korban tewas hingga 839 orang, 6.279 korban terluka, dan puluhan ribu orang bertahan di pengungsian. Bencana dengan korban jiwa terbanyak kedua di Sumut terjadi pada 2 November 2003. Musibah banjir bandang di Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat. Kawasan wisata ini luluh-lantak dihantam air bah. Korban tewas 167 orang, termasuk lima warga negara asing asal Swiss, Amerika Serikat, Jerman dan Singapura, sementara 83 orang dinyatakan hilang. 

Selain terbesar dalam korban jiwa, gempa bumi Nias juga menimbulkan kerugian paling besar dalam sejarah bencana alam di Sumut, sekitar Rp 6 triliun. Angka itu muncul dari berbagai kerusakan infrastruktur, meliputi 723 sarana pendidikan, 761 bangunan publik, dan 1.938 bangunan rumah ibadah. Sarana pemukiman warga yang mengalami kerusakan, masing-masing 20 ribu rumah rusak total, 23 ribu rusak berat, 36 ribu rusak ringan. Sarana perdagangan yang rusak 219 unit, yakni pasar tradisional, toko dan kios (BRR, 2005). Bencana banjir bandang Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, statusnya menjadi bencana tingkat provinsi. 

Sementara bencana yang masuk kategori bencana nasional adalah gempa dan tsunami yang terjadi di NAD dan Nias. Di NAD, bencana mahadahsyat itu menewaskan 129.775 orang, 36.786 hilang dan 174 ribu orang menjadi pengungsi. Dari segi materil, 120 ribu rumah rusak dan hancur, 800 kilometer jalan dan 2.260 jembatan rusak atau hanyut, 693 fasilitas kesehatan rusak atau hancur dan 2.224 sekolah rusak atau hancur. Dengan total kerugian sekitar US$ 4,5 miliar. Sementara di Sumut bencana ini menyebabkan korban meninggal dunia sebanyak 130 orang, hilang 18 orang, luka berat dua orang dan jumlah pengungsi mencapai 4.128 jiwa (Damanik, 2008).

Sebagaimana disebutkan dalam Perka 10/2008, status kebencanaan ini sifatnya berdasarkan usulan Kepala BPBD Kabupaten/Kota mengusulkan kepada bupati/walikota dalam rangka menetapkan status/tingkat bencana skala kabupaten/kota. Sementara Kepala BPBD Provinsi mengusulkan kepada gubernur dalam rangka menetapkan status/tingkat bencana skala provinsi. Sedangkan Kepala BNPB mengusulkan kepada Presiden RI dalam rangka menetapkan status/tingkat bencana skala nasional. 

Biasanya status tanggap darurat bencana diberlakukan antara satu minggu hingga dua minggu. Makanya Bupati Karo menetapkan status tanggap darurat bencana ini sampai dengan 9 September 2010. Namun dalam kasus Sinabung, tanggap darurat bencana terpaksa diperpanjang sampai 24 September 2010, karena Gunung Sinabung belum menunjukkan tanda berhenti memuntahkan abu vulkanik. 

"Perpanjangan status tanggap darurat itu berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati Karo," kata Johnson Tarigan, Kabid Humas Pemkab Karo.

No comments:

Post a Comment