Friday, 29 April 2011

Jejak Langkah Pengungsi Sinabung di Desa Telagah

Sudah lewat tujuh bulan ketika napak tilas pengungsian Sinabung ini dilakukan, Kamis (28/4/2011). Rentang waktu sekian lama ternyata tak mengubah banyak hal. Jalanan sepi di tengah hutan, memanjang hingga 19 kilometer menuju Langkat. Sepanjang itulah jalur pengungsian yang harus ditempuh sekitar 1.400 warga dari beberapa desa untuk menyelamatkan diri dari kejaran abu vulkanik letusan Gunung Sinabung.

Rekonstruksi perjalanan pengungsian ini dilakukan dengan sepeda motor bebek Honda Supra X warna hitam keluaran tahun 2005. Tentu saja rekonstruksi yang tidak seimbang, sebab kebanyakan warga mengungsi dengan berjalan kaki. Tapi ya sudah, yang penting semangatnya adalah berupaya memahami bagaimana pengungsian itu dilakukan. Pagi ini perjalanan itu dimulai. Minyak sudah diisi penuh, tinggal menguji nyali melewati hutan belantara dan berdoa semoga tidak hujan.

Dari penginapan Sibayak Cottage di Jl. Veteran, Berastagi, Karo, perjalanan dimulai sekitar pukul 08.20 WIB. Langsung menuju Desa Kutarakyat yang terpaut sekitar 27 kilometer.

“Lebih bagus dari Medan, jalannya bagus. Lewat sini jalannya rusak. Bisa memang lewat naik kereta, tapi ya susah,” kata seorang warga Kuta Rayat sambil menunjukkan ekspresi kasihan ketika menatap sepeda motor bebek yang diketahuinya akan melintasi jalur itu.

Di Sumatera Utara, sepeda motor biasa disebut kereta, dan sungguh tak biasa kereta jenis bebek melewati jalur yang sudah menghutan menuju Desa Telagah itu. Hanya sepeda motor jenis dua tak yang biasa melaju menuju Desa Telagah. Sepeda motor memang tak begitu meyakinkan, tapi semangat demikian kuat sudah. Maka ke sanalah tujuan perjalanan diarahkan.

Lima Kilometer Pertama

Setelah memastikan arah perjalanan sudah pas, maka napak tilas itu pun dimulai. Sekitar lima kilometer pertama dari persimpangan Desa Kuta Rayat, jalan masih mulus. Selanjutnya ketika mulai memasuki kawasan dalam hutan, aspal mulus itu berganti bentuk. Aspal sudah mulai mengelupas. Menyisakan batu-batu-batu kecil yang berserakan dan gampang mencelat ketika berhimpitan dengan ban sepeda motor.

Tak ada batas wilayah Karo dan Langkat yang terlihat di sepanjang jalur. Hanya saja sepertinya dua jembatan yang dilewati, masih masuk di wilayah Karo, sebab di dekatnya ada plang besi berisi larangan merusak hutan lindung dari Pemkab Karo.

Ada pemandangan cukup menyegarkan setelah melewati tanjakan yang menghadang di ujung jembatan kedua itu. Satu perbukitan yang sudah dipapas dindingnya menjadi seperti undakan yang menyisakan pemandangan tanah yang berwarna merah. Pada dinding undakan itu, tertulis Deleng Moria - GBKP. Semacam prasasti dan bisa juga disebut grafiti, dengan alasan yang baik mestinya.

Tentu saja pemandangan ini menarik jika dilihat pada hari terang, dan saat itu tidak ada ancaman letusan dari Gunung Sinabung. Mereka yang sedang menyelamatkan diri dari ancaman letusan gunung, tidak akan punya waktu untuk menikmati pemandangan itu. Mereka berkejaran dengan waktu. Terlambat sedikit, nyawa bisa melayang. Tak ada jaminan, gunung tidak akan meminta korban. Semua bisa saja terjadi.

Hingga hari terakhir pengungsian, tercatat ada sekitar 1.400 pengungsi Sinabung yang berada di Desa Telagah. Kebanyakan mereka, datang dengan berjalan kaki. Setelah lima kilometer pertama itu, sepeda motor tak lagi bisa digunakan untuk berboncengan. Bahkan lebih banyak digiring daripada dikendarai. Untungnya jalan menurun, bukan tanjakan.

Tanpa Penanda di Persimpangan

Setelah jembatan kedua itu, tak ada lagi momen untuk menyaksikan pemandangan. Untungnya hujan tak turun dalam perjalanan napak tilas. Konsentrasi hanya pada jalanan yang menjanjikan masalah jika tidak diperhatikan dengan baik. Hanya bebatuan dan tanah berlumpur yang menjadi lintasan sepeda motor.

Jalanan selalunya menurun, dan sepeda motor menjadi sulit dikendalikan. Bertahan pada gear satu, atau gigi satu. Rem tangan tak pernah lepas. Sempat beberapa kali terhempas karena rem tak bisa mengatasi jalan yang licin. Bum.. !!! Ransel pun terlempar beberapa meter ke bawah.

Sepanjang perjalanan ransel itu diletakkan di lengkungan antara tempat duduk dan stang. Kedua paha menjadi penjepitnya. Sengaja diletakkan di situ karena kalau dipanggul di punggung, cukup berat.

Ketika ransel itu terlempar, tak guna segera memeriksa apakah laptop yang ada di dalam ransel, rusak atau tidak akibat hempasan itu. Toh diperiksa sekarang dan nanti sama saja hasilnya. Kalau rusak ya rusak, kalau bagus ya bagus. Jalanan pun mulai gelap. Sinar matahari tertahan rimbunnya hutan. Memeriksa ransel hanya membuang waktu. Sebelum segalanya terlambat, lebih baik bergegas. Agas juga mulai mengganggu.

Sulitnya lagi, setelah berada di tengah hutan, ada pula jalan bercabang. Tidak ada penanda, arah mana yang menuju Desa Telagah. Kedua jalan ini sama buruknya. Jalur kiri lebih curam dan merupakan jalur turunnya air hujan. Sementara di kanan, semak lebih tinggi, tapi jejaknya jelas.

Kedua jalur itu, akhirnya akan membawa ke Telagah, tetapi berbeda jalur. Namun hal itu baru diketahui setelah sampai di Desa Telagah. Saat berada di hutan, tak seorang pun bisa ditanyai. Ketika mengambil akhirnya memutuskan untuk mengikuti belokan ke kanan, hal itu juga harus diperhitungkan dengan matang. Memperhatikan jam, dan mengira-ngira berapa jam yang dibutuhkan untuk kembali ke Kuta Rayat sekiranya cabang yang dipilih itu buntu.

Untungnya tidak. Setelah melewati hutan-hutan bambu terlihat beberapa keping kayu olahan berbentuk papan. Tak lama kemudian ada jejak ban mobil. Mobil yang nekat tentunya. Klop. Kalau mobil bisa melintas di sini beberapa hari lalu, berarti ini jalur yang benar. Belakangan diketahui ternyata nama persimpangan itu Liang Lebah.

Setengah jam kemudian, tanda kehidupan terlihat. Rumah yang sudah rusak dan tumpukan bambu di pinggir jalan. Melaju pelan lagi sekitar 400 meter dari pintu keluar hutan tadi, terlihat seorang pria sedang menyiangi bambu.

“Jalur yang kam lewati tadi, merupakan jalur yang paling cepat, dari Kuta Rayat, tapi curam. Kalau pengungsian itu lewat jalur yang ke kiri, pas di persimpangan di dalam tadi,” kata pria yang belakangan mengenalkan diri sebagai Johannes Sembiring Pelawi, 51 tahun.

Pelawi pria yang ramah. Dia menggunakan kata kam untuk merujuk lawan bicaranya, yang dapat diartikan sebagai kamu, namun maknanya lebih halus dan lebih sebagai penghormatan. Tipikal Karo sejati.

Beberapa tahun yang lalu, kata Pelawi, jalan aspal masih bisa dilalui dengan mudah, namun kini jalan tersebut relatif sulit dilewati, bahkan dengan sepeda motor.

“Orang-orang Kuta Rayat mengungsi melewati jalan di hutan itulah. Ada yang naik Colt Diesel, naik sepeda motor maupun jalan kaki. Mobil bisa lewat jalan hutan itu, walau payah. Setiap hari pekan, ada mobil yang lewat sana membawa orang jualan dari Kuta Rayat ke Telagah. Jaraknya sekitar 19 kilometer. Ada juga yang mengungsi dengan membawa ternak. Setelah aman, ternaknya dibawa pulang kembali, lewat jalan ini,” kata Pelawi.

Oh, begitu. Jadi, salah jalan rupanya. Semestinya jalur yang curam di sebelah kiri tadi yang mesti diikuti. Untungnya jalur yang ke kanan ini juga membawa sepeda motor ini sampai ke Telagah.

Desa Telagah mayoritas penduduknya suku Karo. Daerah ini merupakan bagian dari Taneh Karo jika memakai konsep kewilayahan Karo zaman silam. Banyak penduduknya yang masih bersaudara dengan penduduk Sukanalu, Kuta Rayat, maupun desa-desa di pinggiran Gunung Sinabung yang lainnya.

Para pengungsi di desa ini, sebagian besar ditampung di Lapangan Bola Desa Telagah. Ada banyak tenda didirikan di sana. Di lapangan itu juga terdapat balai desa, dan di depan balai desa terdapat jambur. Kendati tenda-tenda didirikan, kebanyakan pengungsi tidur di jambur.

Jambur di Desa Telagah, serta jambur di Kabanjahe maupun Berastagi, menjadi kesamaan lokasi pengungsian bagi warga yang berupaya menyelamatkan diri dari bencana letusan Gunung Sinabung. Soal kesulitan di pengungsian, semua kisah pengungsian menjanjikan derita yang meletihkan.

No comments:

Post a Comment