Kajian yang membahas tentang bencana alam dalam perspektif ilmu sosial, agaknya dimulai sejak Samuel Henry Prince melakukan penelitian ilmiah tentang hancurnya Pelabuhan Halifax, di Nova Scotia, Kanada, dalam ledakan amunisi yang dipicu tabrakan kapal pada 6 Desember 1917. Hasil penelitian itu kemudian membuat perubahan dalam sistem legislasi yang berkenaan dengan kebencanaan di daerah tersebut.
Penelitian itu juga menjadi tonggak penting dalam perkembangan ilmu sosial untuk selanjutnya, sebagaimana disampaikan Russell R. Dynes dan E. L. Quarantelli dalam makalahnya:
The 1917 explosion in Halifax Harbor was important for a number of reasons. The interest here is in the fact that this particular occasion became the focus of the first systematic social scientific study of disaster – Ledakan yang terjadi di Pelabuhan Halifax 1917 penting pada waktu itu karena beberapa alasan. Unsur pentingnya, karena secara nyata peristiwa yang jarang terjadi ini menjadi kajian ilmu pengetahuan sosial bidang bencana (Russell R. Dynes dan E. L. Quarantelli, 1992).
Ledakan hebat yang terjadi di Halifax itu dipicu tabrakan dua kapal. Kapal Mont-Blanc yang dicarter pemerintah Perancis untuk membawa amunisi ke Eropa, tabrakan dengan kapal Imo asal Norwegia. Kapal Imo yang dicarter Lembaga Bantuan Belgia, rencananya akan membawa bantuan untuk korban perang. Sekitar 10 menit setelah tabrakan itu, Mont-Blanc meledak dan menghancurkan fasilitas yang ada dalam radius dua kilometer persegi. Ledakan itu juga menyebabkan gelombang tinggi dan menambah kerusakan yang sudah ada. Dalam kejadian ini, sekitar 2.000 orang meninggal dunia, dan setidaknya 9.000 orang terluka. Prince menjadikan kejadian ini sebagai objek penelitian untuk disertasinya di Columbia University, dan berikutnya muncul dalam buku bertajuk Catastrophe And Social Change; Based Upon A Sociological Study Of The Halifax Disaster pada Oktober 1920 yang juga diterbitkan Columbia University.
Kajian tentang bencana alam berikutnya dilakukan Jamuna Prasad tentang rumor yang berkembang ketika terjadi gempa bumi di India pada tahun 1934 (Henry B. Dunn dan Charlotte A. Allen, 2005). Karya Prasad dipublikasikan pada tahun 1935 dalam British Journal of Psychology dengan judul Psychology of Rumor: A Study Relating to the Great Indian Earthquake of 1934. Sementara peneliti lainnya, Robert I. Kutak, membahas tentang bencana banjir di Louisville dalam artikelnya The Sociology of Crises: The Louisville Flood of 1937 yang dimuat dalam jurnal Social Force tahun 1938 (Quarantelli, 1988).
Tetapi kajian-kajian itu masih dalam perspektif sosial yang umum. Kajian kebencanaan dalam perspektif antropologi baru dimulai sekitar tahun 1950-an, seperti disampaikan William I Torry.
Not until the 1950s, however, did cultural anthropologists begin to examine systematically and in depth the social consequences of natural disasters, to search for cross-site invariances in disaster related behaviours, and to codify these findings or to participate in hazard-control planning - bagaimanapun, antropolog mulai menguji secara sistematis dan dalam konsekuensi sosial bencana alam, untuk mencari-cari kaitan antara varian aspek-aspek dalam bencana yang berberhubungan perilaku-perilaku, dan untuk melakukan kodifikasi untuk menemukan atau untuk mengambil bagian di perencanaan pengendalian bahaya (Torry, 1979).
Sosok yang memulai penelitian itu antara lain antropolog asal Kanada, Anthony Francis Clarke Wallace yang pada tahun 1985 melakukan penelitian tentang bencana tornado di Worcester dengan judul Tornado in Worcester; An Exploratory Study of Individual and Community Behavior in an Extreme Situation. Seterusnya Wallace menulis lagi beberapa karya lain yang terkait dengan kebencanaan, antara lain Saint Clair: A Nineteenth Century Coal Town's Experience With a Disaster Prone Industry pada tahun 1987, dan bersama Sheila C. Steen menulis The Death and Rebirth of the Seneca pada tahun 1969. Kedua karya ini diterbitkan Random House, New York.
Tahapan berikutnya kajian mengenai kebencanaan disampaikan antropolog Ken Hewitt pada tahun 1983 melalui buku Interpretation of Calamity: From the Viewpoint of Human Ecology yang dipublikasikan penerbit, Allen, Boston. Jejak panjang kajian-kajian mengenai kebencanaan semakin banyak seiring dengan makin banyak pula bencana alam yang terjadi, terutama setelah setelah gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Nias, Sumatera Utara, tahun 2004 serta badai Katrina yang melanda beberapa daerah di Amerika Serikat pada Agustus 2005.
Saya belum menemukan referensi yang membahas berkenaan dengan bagaimana penamaan untuk antropologi bencana alam (the anthropology of disaster) bisa muncul dan berkembang. Tetapi jika merunut pada paradigma-paradigma antropologi yang ada hingga sekarang, kajian antropologi bencana alam dapatlah dinyatakan masuk dalam paradigma ekologi kebudayaan yang merupakan perluasan dari paradigma materialisme kebudayaan yang dikemukakan Marvin Harris.
Perspektif materialisme kebudayaan ini memandang pentingnya materi, yakni infrastruktur, untuk mendukung kebudayaan manusia sebagaimana dituliskan Harris dalam artikelnya The Theoritical Principles of Cultural Materialism.
The strategic priority given to etic and behavioral production and reproduction by culture that incorporated lawful regularities occurring in nature. Like all bioforms, human beings must expend energy to obtain energy (and other life-sustaining product). and like all bioform, our ability to produce children is greater than our ability to obtain energy for them. The strategic priority of the infrastructure rests upon the fact that human beings can never change these laws. We can only seek to strike a balance between reproduction and the production and consumption of energy – Prioritas strategis diberikan kepada produksi etik dan perilaku dan reproduksi dengan budaya yang menyatu dalam keteraturan yang terjadi di alam. Seperti semua bioforms, manusia harus mengeluarkan energi untuk memperoleh energi (dan produk mendukung kehidupan lainnya). dan seperti semua bioform, kemampuan kita untuk menghasilkan anak-anak lebih besar daripada kemampuan kita untuk memperoleh energi bagi mereka. Prioritas strategis infrastruktur terletak pada kenyataan bahwa manusia tidak pernah dapat mengubah hukum-hukum ini. Kita hanya bisa berusaha untuk membuat keseimbangan antara reproduksi dan produksi serta konsumsi energi (Harris, 1988).
Paradigma materialisme kebudayaan ini berkelindan dengan ekologi kebudayaan, yang memfokuskan perhatiannya pada aspek hubungan manusia dengan lingkungannya seperti yang digagas Julian Steward. Hal itu bisa dilihat dalam tulisannya, The Concept and Method of Cultural Ecology.
Cultural ecology differ from human and social ecology in seeking to explain the origin of particular cultural features and patterns which characterize different areas rather than to derive general principles apllicable to any cultural-environmental situation - Ekologi budaya berbeda dengan manusia dan ekologi sosial dalam cara untuk menjelaskan asal-muasal dari fitur dan pola-pola budaya tertentu yang menandai bidang-bidang yang berbeda dibanding untuk memperoleh prinsip-prinsip umum yang dapat diaplikasikan kepada setiap situasi lingkungan budaya (Steward, 1988).
Ekologi sebagai suatu ilmu pengetahuan berkembang pada abad ke-20, tetapi kebanyakan terbatas pada kajian tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan daripada kajian tentang manusia. Namun aspek ekologi memperoleh posisi penting dalam antropologi diekspresikan sekitar tahun 1930-an oleh Julian Steward (Saifuddin, 2005).
Barangkali kontribusi Steward yang paling bermakna adalah ‘metode ekologi kebudayaan’ yang digagasnya, yakni ‘lingkungan dan kebudayaan bukanlah dua lapangan yang terpisah melainkan keduanya terlibat dalam hubungan dialektik atau apa yang disebut umpan balik atau kausalitas resiprositas (David Kaplan dan Robert A. Manners, 2005). Dalam proses hubungan manusia dan alam, paradigma ekologi kebudayaan melihat alam mempengaruhi kebudayaan yang ada di masyarakat.
Dari sudut pandang ini, sebenarnya lingkungan dan manusia bisa saling mempengaruhi, misalnya berkenaan dengan kondisi masyarakat yang berada di sekitar gunung berapi. Kondisi alam pegunungan umumnya akan menciptakan kebudayaan masyarakat yang agraris. Kesuburan tanah sangat baik, terutama di kawasan gunung berapi sebab setiap kali terjadi letusan gunung terjadi pemupukan alamiah. Posisi gunung juga bisa ditangkap sebagai sesuatu yang agung, yang kemudian melahirkan bermacam ritual untuk menghormati keagungannya dan mencegah bencana yang mungkin dimunculkannya. Itulah yang kemudian dimanefestasikan dalam bentuk ritual masyarakat Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur, maupun ritual yang dilakukan Mbah Maridjan terhadap Gunung Merapi yang akhirnya meletus juga.
Sementara pada sisi lain, perkembangan jumlah manusia, kebutuhan lahan yang meningkat menyebabkan terbukanya peluang perusakan lingkungan. Ketika banjir semakin sering terjadi akibat penggundulan hutan, maka masyarakat juga akan beradaptasi dengan kebudayaan yang baru, yakni mempersiapkan diri mengantisipasi banjir jika hujan turun.
Maka paradigma materialisme kebudayaan maupun ekologi kebudayaan menjadi tepat dalam konteks pembahasan yang berkenaan dengan kebencanaan ini, termasuk juga dalam kasus letusan Gunung Sinabung. Hanya saja, letusan Gunung Sinabung bukanlah bencana yang diakibatkan manusia, melainkan siklus gunung berapi itu sendiri sejak pembentukannya terjadi melalui proses di kerak bumi ratusan tahun yang lalu dan letusan itu yang terjadi sebagai mekanisme pelepasan energi bumi.
Trima kasih, sebagain tulisan saya gunakan untuk referensi. saya sedang menulis tentang isu kebencanaan dalam perspektif ilmu sosial..
ReplyDeleteTerimakasih, sumber ini membuka pikiran saya lebih luas , untuk mengerjakan tugas
ReplyDelete