Sebagai suku yang memiliki tradisi ratusan tahun, maka adat suku Karo mengajarkan banyak hal tentang keseharian, tentang apa dan bagaimana bertindak. Kearifan itu tergambar dalam berbagai ungkapan yang ada dalam suku tersebut.
Pada prinsipnya, suku Karo memberi terlebih dahulu baru menerima, prinsip demikian menjadi filosofi masyarakat Karo dalam semua bidang kehidupan. Kesahihan filosofi ini dapat juga dilihat dari ungkapan lain yang senada dengan itu, yakni mangkok lawes mangkok reh, maknanya mereka yang memberi maka akan menerima balasannya.
Bagi suku Karo, setiap perbuatan akan mendatangkan akibat yang setimpal, seperti terungkap dalam pepatah, adi ngalo la rido, nggalar la rutang, artinya jika menerima sesuatu yang tidak sah atau tidak wajar, maka akan mendatangkan bencana. Sebab itu dalam pepatah lainnya disebutkan, pangan labo ate keleng, tapi angkar beltek. Artinya boleh melakukan apa saja tetapi harus memikirkan dampak yang ditimbulkannya (Prinst, 2004:66).
Dalam bidang ekologi atau lingkungan, maka kearifan masyarakat tercermin dari adanya penetapan tentang hutan-hutan larangan yang belakangan hari juga ditetapkan sebagai hutan lindung oleh pemerintah. Kearifan masyarakat Karo terhadap lingkungan tercermin dari penggunaan kayu hutan yang hanya diperbolehkan diambil untuk kebutuhan rumah tangga, bukan untuk diperdagangkan. Jika ingin menjual, maka harus menanam terlebih dahulu.
Masyarakat Karo juga sudah memahami konservasi lahan, misalnya dengan membuat terasering pada lahan curam yang disebut tambak-tambak, sehingga lahan menjadi datar dan kesuburan tanah terpelihara (Prinst, 2004:69). Sementara untuk menjaga terjadinya erosi atau longsor pada dinding sungai, tepian sungai biasanya ditanami dengan pohon bambu. Adat Karo juga melarang penebangan semak belukar sekitar 50 meter dari kiri dan kanan sungai, dan melarang penebangan pohon sekitar 100 meter dari sumber mata air, supaya mata air tidak kering.
Nilai-nilai filosofi masyarakat Karo juga tercermin dari desain rumah tradisionalnya yang tahan terhadap gempa. Usia bangunan bisa mencapai ratusan tahun dan dalam pembuatannya tidak memakai paku seperti yang terlihat di Desa Lingga. Nilai filosofi itu terlihat dari ornamen yang ada di rumah tradisional tersebut.
Keseluruhan ornamen dibuat atau diletakkan pada ayo-ayo (bagian depan rumah), dapur-dapur (bagian dapur), dan pada derpih (bagian dinding), dan pada atap rumah diletakkan dua atau empat kepala kerbau lengkap dengan tanduknya yang dipercaya sebagai lambang kekuatan. Ornamen tersebut meliputi: Pangeret-ret, Embun Sikawiten, Bindu Matoguh, Tupak Salah Silima-lima, dan Tapak Raja Sulaiman.
Pengeret-ret. Bahan dasar ornamen ini adalah tali ijuk yang dipilin dan diikat ke dinding rumah (derpih) bagian depan—dimaksudkan sebagai pengganti paku. Lubang diatur terlebih dahulu sesuai dengan gambar dan berfungsi untuk memperkuat tiap lembar papan, sehingga dinding menjadi kuat. Motif ornamen berupa gambar seekor cicak yang diyakini memiliki kekuatan untuk menolak bala dan ancaman roh jahat yang mengganggu penghuni rumah. Ornamen ini melambangkan suatu kekuatan, penangkal setan, kewaspadaan, dan kesatuan keluarga.
Embun Sikawiten. Ornamen dengan motif alam ini merupakan tiruan dari rangkaian awan yang beriringan dibuat menyerupai gambar bunga yang menjalar berbentuk segitiga. Fungsinya sebagai petunjuk hubungan antara kalimbubu (awan tebal bagian atas) dan anak-beru (bayangan awan di bagian bawah). Kalimbubu adalah pelindung anak-beru dalam sistem hubungan masyarakat Karo. Bayangan awan di bawah akan bergerak mengikuti iringan gumpalan awal tebal di atasnya bila awan di bagian atas bergerak, sesuai dengan fungsi kalimbubu.
Bindu Matoguh. Motif ornamen berupa garis yang menyilang diagonal dan membentuk persegi, melambangkan keteguhan hati masyarakat Karo untuk bertindak baik, adil, tidak melanggar norma, dan tidak merugikan orang (encikep si mehuli). Nilai filosofis encikep si mehuli adalah sebagai penolak bala yang tidak akan datang melanda bila manusia berbuat baik dan jujur terhadap siapapun.
Tupak Salah Silima-lima. Motif ornamen ini adalah alam/geometris berupa garis menyilang yang membentuk gambar bintang di langit yang menerangi bumi di malam hari. Melambangkan kesatuan/kekeluargaan merga silima (lima merga) sebagai sistem sosial masyarakat Karo yang utuh, dihormati, dan disegani. Kesatuan dimaknai sebagai kekuatan karena kekuatan masyarakat Karo pada hakikatnya terletak pada kebersamaan yang dibangun. Kelima merga tersebut adalah merga induk yang diikat oleh struktur sosial dan tak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Fungsi ornamen tak lain sebagai penolak niat jahat dari adanya keinginan yang hendak mengganggu keutuhan merga silima.
Tapak Raja Sulaiman. Ornamen ini bermotif geometris berupa garis yang menyimpul dan membentuk jalinan motif bunga dan membentuk segi empat. Nama ornamen diambil dari nama raja yang dianggap sakti yang ditakuti oleh makhluk jahat mulai dari yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar. Dengan status sebagai raja yang tinggi kedudukannya, Raja Sulaiman merupakan kekuatan yang dihormati sekaligus ditakuti. Masyarakat Karo percaya bahwa ornamen Tapak Raja Sulaiman akan menolong mereka agar terhindar dari ancaman niat jahat, baik yang datang secara nyata maupun tidak nyata. Makna yang terdapat pada ornamen ini adalah makna kekeluargaan dan makna kekuatan (Asmyta Surbakti, 2010).
No comments:
Post a Comment